ROLE THEORY
Teori
Peran (Role Theory) adalah teori yang merupakan perpaduan berbagai teori,
orientasi, maupun disiplin ilmu. Selain dari psikologi, teori peran berawal
dari dan masih tetap digunakan dalam sosiologi dan antropologi.
Dalam
ketiga bidang ilmu tersebut, istilah “peran” diambil dari dunia teater. Dalam
teater, seseorang aktor harus bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam
posisinya sebagai tokoh itu ia diharapkan untuk berperilaku secara tertentu.
Posisi
aktor dalam teater (sandiwara) itu kemudian dianalogikan dengan posisi
seseorang dalam masyarakat. Sebagaimana halnya dalam teater, posisi orang dalam
masyarakat sama dengan posisi aktor dalam teater, yaitu bahwa perilaku yang
diharapkan daripadanya tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berada dalam
kaitan dengan adanya orang lain yang berhubungan dengan orang atau aktor
tersebut. Dari sudut pandangan inilah disusun teori-teori peran.
Sebetulnya
cukup banyak teori peran dalam psikologi. Namun, karena keterbatasan tempat,
pembicaraan akan dipusatkan pada teori Biddle & Thomas (1996) saja, dengan di
sana-sini bilamana perlu akan disinggung pula teori-teori dari penulis-penulis
lain secara sepintas.
Dalam
teorinya Biddle & Thomas membagi peristilahan dalam teori peran dalam empat
golongan, yaitu istilah-istilah yang menyangkut :
a. Orang-orang
yang mengambil bagian dalam interaksi social;
b. Perilaku
yang muncul dalam interaksi tersebut;
c. Kedudukan
orang-orang dalam perilaku;
d. Kaitan
antara orang dan perilaku.
Orang
yang mengambil bagian dalam interaksi sosial dapat dibagi dalam dua golongan
sebagai berikut:
a. Aktor
(actor, pelaku), yaitu orang yang sedang berperilaku menuruti suatu peran
tertentu.
b. Target
(sasaran) atau orang lain (other), yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan
aktor dan perilakunya.
Aktor
maupun target bisa berupa individu-individu ataupun kumpulan individu
(kelompok). Hubungan antar kelompok dengan kelompok misalnya terjadi antara
sebuah paduan suara (aktor) dan pendengaran (target).
Istilah
“aktor” kadang-kadang diganti dengan person, ego, atau self. Sedangkan “target”
kadang-kadang diganti gengan istilah alter-ego, alter, atau non-self. Dengan
demikian, jelaslah bahwa teori peran sebetulnya dapat diterapkan untuk
menganalisis setiap hubungan antardua orang atau antarbanyak orang. Jadi,
termasuk juga hubungan POX (dari Heider) dan hubungan ABX (dari New Comb).
Cooley
(1902) dan Mead (1934) menyatakan bahwa hubungan aktor-target adalah untuk
membentuk identitas aktor (person, self, ego) yang dalam hal ini dipengaruhi
oleh penilaian atau sikap oaring-orang lain (target) yang telah
digeneralisasikan oleh aktor.
Secord
& Backman (1964) menyatakan bahwa aktor menempati posisi pusat (focal
position), sedangkan target menempati posisi padanan dari posisi pusat tersebut
(counter position). Dengan demikian, maka target berperan sebagai pasangan
(partner) bagi aktor. Hal ini terlihat misalnya pada hubungan ibu-anak,
suami-istri atau pemimpin-anak buah.
Menurut
Biddle & Thomas ada lima istilah tentang perilaku dalam kaitannya dengan
peran:
a. Expectation
(harapan);
b. Norm
(norma);
c. Performance
(wujud perilaku);
d. Evaluation
(penilaian) dan sanction (sanksi);
a. Harapan
tentang Peran
Harapan tentang
peran adalah harapan-harapan orang lain (pada umumnya) tentang perilaku yang
pantas, yang seyogianya ditunjukkan oleh seseorang yang mempunyai peran
tertentu. Contoh, masyarakat umum, pasien-pasien, dan orang-orang sebagai
individu mempunyai harapan tertentu tentang perilaku yang pantas dari seorang
dokter.
Harapan tentang
perilaku dokter ini bisa berlaku umum (misalnya, dokter harus menyembuhkan
orang sakit) bisa merupakan harapan dari segolongan orang saja (misalnya,
golongan orang yang kurang mampu mengharapkan agar dokter bersikap social) dan
bisa juga merupakan harapan dari satu orang tertentu (misalnya, seorang pasien
tertentu mengharapkan dokternya bisa juga member nasihat-nasihat tentang
persoalan rumah tangganya selain menyembuhkan dari penyakit).
b. Norma
Orang sering
mengacaukan istilah “harapan” dengan “norma”. Namun, menurut Secord &
Backman (1964) “norma” hanya merupakan salah satu bentuk “harapan”. Jenis-jenis
harapan menurut Secord & Backman adalah sebagai berikut :
1) Harapan
yang bersifat meramalkan (anticipatory), yaitu harapan tentang suatu perilaku
yang akan terjadi, misalnya: seorang istri menyatakan, “Aku kenal betul
suamiku. Kalau kuberitahu bahwa aku telah membeli baju sehara Rp 60.000, ini,
ia tentu akan marah sekali!” Oleh Mc David & Harari (1968) harapan jenis
ini disebut predicted role expectation.
2) Harapan
normative (atau, menurut Mc David & Hariri: prescribed role-expectation)
adalah keharusan yang menyertai suatu peran. Biddle & Thomas membagi lagi
harapan normative ini ke dalam dua jenis :
a) Harapan
yang terselubung (covert): harapan itu tetap ada walaupun tidak diucapkan,
misalnya dokter harus menyembuhkan pasien, guru harus mendidik murid-muridnya.
Inilah yang disebut norma (norm).
b) Harapan
yang terbuka (overt): harapan yang diucapkan misalnya ayah meminta anaknya agar
menjadi orang yang bertanggung jawab dan rajin belajar. Harapan jenis ini
dinamai tuntutan peran (role demand). Tuntutan peran melalui proses
internalisasi dapat menjadi norma bagi peran yang bersangkutan.
c. Wujud
Perilaku dalam Peran
Peran diwujudkan
dalam perilaku oleh aktor. Berbeda dari norma, wujud perilaku ini nyata, bukan
sekedar harapan. Dan berbeda pula dari norma, perilaku yang nyata ini
bervariasi, berbeda-beda dari satu aktor ke aktor yang lain. Misalnya, peran
ayah seperti yang diharapkan oleh norma adalah mendisiplinkan anaknya,
sedangkan ayah yang lain hanya menasihati.
Variasi ini
dalam teori peran dipandang normal dan tidak ada batasnya. Persis dalam teater,
di mana tidak ada dua aktor yang bisa betul-betul identik dalam membawakan
suatu peran tertentu. Bahkan satu aktor
bisa berbeda-beda cara membawakan suatu peran tertentu pada waktu yang berbeda.
Oleh karena itu, teori peran tidak cenderung mengklasifikasikan
istilah-istilahnya menurut perilaku khusus, melainkan berdasarkan
klasifikasinya pada sifat asal dari perilaku dan tujuannya (atau motivasinya).
Jadi, wujud perilaku peran dapat digolongkan misalnya ke dalam jenis hasil
kerja, hasil sekolah, hasil olahraga, pendisiplinan anak, pencarian nafkah,
pemeliharaan ketertiban dan sebagainya.
Jelaslah bahwa
peran dilihat wujudnya dari tujuan dasarnya atau hasil akhirnya, terlepas dari
cara mencapai tujuan atau hasil tersebut. Walaupun demikian, tidak tertutup
kemungkinan adanya cara-cara tertentu dalam suatu peran yang mendapat sanksi
dari masyarakat. Misalnya, seorang ayah yang berusaha mewujudkan peranya untuk
mendisiplinkan anaknya dengan cara menggantung kaki anaknya sehingga kepalanya
terbalik ke bawah, akan mendapat celaan dari masyarakat sehingga cara seperti
ini akan dihindari oleh ayah-ayah pada umumnya.
Cara itu menjadi
masalah yang penting jika cara itu bertentangan dengan aspek lain dari peran.
Cara menggantung anak pada kakinya. Walaupun mungkin sesuai dengan perannya
untuk mendisiplinkan anak, tetapi hal itu bertentangan dengan perannya untuk
member kasih sayang kepada anak. Dengan demikian, seorang aktor bebas untuk
menentukan cara-caranya sendiri selama tidak bertentangan dengan setiap aspek
dari peran yang diharapkan darinya.
Sarbin
menyatakan bahwa perwujudan peran (dalam istilah Sarbin: role enactment) dapat
dibagi-bagi dalam tujuh golongan menurut intensitasnya. Intensitas ini diukur
berdasarkan keterlibatan diri (self) aktor dalam perang yang dibawakannya.
Tingkat intensitas yang rendah adalah keadaan di mana diri aktor sangat tidak
terlibat. Perilaku peran dibawakan secara otomatis dan mekanistis saja.
Sedangkan tingkat yang tertinggi akan terjadi jika aktor melibatkan seluruh
pribadinya dalam perilaku peran yang sedang dikerjakan. Kita ambil caontoh
misalnya pemain musik yang setiap malam bertugas menghibur tamu di restoran.
Karena sudah terbiasa dengan pekerjaannya, pemusik itu memainkan alat musiknya
sambil mengobrol dengan temannya atau sambil melamun. Perwujudan peran pemusik
ini adalah pada tingkat intensitasnya yang terendah. Di pihak lain, seorang
pemain piano tunggal memainkan sebuah nomor lagu dalam sebuah konser dengan segenap
perasaanya dan kosentrasinya. Kepala terangguk-angguk, badannya
bergoyang-goyang mengikuti irama lagu. Maka, pemain piano ini mewujudkan
perannya dengan intensitas yang tinggi.
Goffman meninjau
perwujudan peran ini dari sudut yang lain. Ia memperkenalkan istilah permukaan
(front), yaitu untuk menunjukkan perilaku-perilaku tertentu yang diekspresikan
secara khusus agar orang lain mengetahuinya dengan jelas peran si pelaku
(aktor). Misalnya, seorang professor meletakkan rak penuh buku-buku ilmiah di ruang
tamunya. Dengan begitu, tamu-tamunya akan mendapatkan kesan tentang apa dan
bagaimana peran seorang professor itu. Inilah yang disebut permukaan. Di
samping itu, tentu ada perilaku-perilaku lain yang tidak mau ditunjukkan ke
permukaan, walaupun tetap saja dilakukan, karena dianggap tidak sesuai dengan
peran yang hendak diwujudkan. Dalam contoh professor tersebut, mungkin
professor tersebut mempunyai buku-buku komik yang disukainya, tetapi
disimpannya di lemari kamar tidurnya agar tidak dilihat oleh tamu-tamunya.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Sarwono, SW. 2011.Teori-Teori Psikologi
Sosial. Jakarta: Rajawali Pers
·
Soekanto, S. 1986. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar