PERILAKU PACARAN REMAJA di WARNET
Karina Kandhi Krisnawardhani
2010.08.0.0001
Fakultas
Psikologi Universitas Hang Tuah Surabaya
ABSTRAK
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami perilaku pacaran remaja di warnet.
Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana perilaku pacaran remaja di
warnet. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif,
data dikumpulkan dengan mengunakan teknik wawancara dan observasi pada dua
subyek yang sering berkunjung di warnet U daerah PB kota Surabaya. Data yang
terkumpul dianalisis secara kulitatif-interpretatif. Berdasarkan hasil
wawancara dan observasi dapat disimpulkan bahwa perilaku pacaran remaja di
warnet yang muncul ialah tak sebatas mencari ilmu pengetahuan dan menambah wawasan.
Hal tersebut dikarenakan adanya faktor-faktor eksternal yang mendorong seorang
remaja melakukan hal-hal negatif di warnet. Faktor-faktor ekternal tersebut
ialah pacar, lokasi/ tempat yang mendukung, dan adanya konformitas teman
sebaya. Warnet yang awalnya berfungsi untuk kegiatan positif (belajar, menambah
wawasan, dan browsing) menjadi tempat untuk kegiatan negatif (melihat film
porno, melakukan kissing, necking, petting, dan oral sex).
Kata kunci :
Perilaku pacaran, remaja, warnet.
PENDAHULUAN
Latar
Belakang Masalah
Dalam era globalisasi ini dibutuhkan
kecepatan mengakses informasi dan alat komunikasi yang mudah. Awalnya,
bermunculan macam-macam alat komunikasi. Seperti, radio, tv, telephone genggam
dan lainnya. Namun alat tersebut kurang memenuhi kehausan masyarakat (khususnya
remaja) untuk mengakses data, dan informasi. Munculah jaringan internet yang
pada zaman dahulu hanya bisa dinikmati jika memiliki jaringan internet di rumah
(modem) saja. Karena kebutuhan akan internet meningkat dan tidak semua memiliki
jaringan internet (berupa modem di rumah) munculah warung internet (warnet).
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi di segala bidang termasuk di
bidang informasi sangat pesat. Kemajuan di bidang teknologi dan arus informasi
yang begitu pesat selain mempunyai dampak positif juga mempunyai dampak negatif
(dalam Pratidina; 2007).
Di negara dunia ketiga, warnet adalah tempat kebanyakan orang mengakses
internet. Warnet merupakan sebuah tempat yang menyediakan jasa layanan
internet, biasanya para pengunjung datang untuk berselancar mencari informasi.
Di negara-negara atau daerah-daerah maju yang akses internetnya sudah ada pada
hampir setiap rumah, warnet jarang didapatkan dan mahal tarifnya. Di daerah
perkotaan (urban) sebuah warnet memiliki nama-nama umum panggilan lain seperti;
Net Cafe,
Cyber Cafe,
atau Pusat Permainan Dalam
Jaringan dimana sambungan internetnya dikhususkan untuk
melakukan permainan komputer dalam jaringan. Sementara di daerah atau pinggir
kota umumnya dikenal sebagai telecenter.
(Wikipedia, Ensiklopedia bebas;9-28-11)
Di beberapa negara yang banyak
mengandalkan sensor seperti RRC
dan Singapura
warnet-warnet dikontrol. Tetapi di negara-negara lain malahan diberi
bilik-bilik pribadi supaya bisa mengakses pornografi tanpa dibatasi. Di Los
Angeles, Amerika
Serikat, warnet juga diawasi karena menarik geng-geng
jalanan. Untuk menarik banyak pengunjung, warnet memberikan fasilitas selain
komputer dan headset, seperti webcam, kamar khusus, toilet, dan lainnya.
Biasanya sebuah warnet didesign tertutup dan berdinding tinggi. Sebenarnya
pemilik warnet memberi fasilitas seperti itu agar pengunjung nyaman berada di
warnetnya. Namun, apabila fasilitas tersebut disalah gunakan, kegiatan
pornografi/ pornoaksi dan kegiatan amoral bisa saja terjadi. Selain itu,
banyaknya situs porno yang dapat diakses secara bebas, membuat remaja, siswa-siswi
SMP dan SMA menyalah gunakan warnet, mereka datang bukan untuk mengerjakan
tugas sekolah atau menambah informasi browsing) melainkan untuk melihat film
porno dan gambar-gambar mesum.
Umumnya warnet paling banyak
terdapat/tersebar terutama di kota-kota besar (ibukota propinsi,
kabupaten,
dan di kota-kota kecil sebagai penyedia jasa untuk melayani kebutuhan
masyarakat di daerah tersebut dalam mengakses informasi. Kebanyakan warnet
tersebar di dekat tempat pendidikan seperti Universitas
atau SMA.
Warnet juga banyak terdapat di tempat-tempat umum dimana orang bersosialisasi
seperti Mal,
town square,
dan sejenisnya. Namun beberapa dari tempat ini atau kafe-kafe tertentu ditempat
ini memberikan jasa internet berupa koneksi Wifi
(hotspot)
yang biasanya gratis karena sudah satu paket dengan biaya yang kita keluarkan
saat minum atau makan. Biasanya pengunjung akan mendapat akun untuk memakai
internet. Penyebaran warnet di Indonesia
pernah dipresentasikan dalam lokakarya
di Mexico
City,
16-19 November 2004
sebagai persiapan data ICT readiness di negara berkembang pada tahun.
Populasi warung Internet (warnet) di
Indonesia hingga akhir tahun ini diperkirakan mencapai 20.000 unit usaha. Rudi
Rusdian, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Warnet (APW) Komitel Indonesia,
mengatakan proyeksi itu memperhitungkan total warnet kecamatan yang telah
menjangkau 5.700 kecamatan dan program warnet desa. Menurut hasil survei APW
Komitel di sejumlah kecamatan, di daerah Jawa Barat dan Banten, dengan lingkup
sebanyak 40% kecamatan dan kota/kabupaten, jumlah warnet di tiap-tiap kota
kecamatannya sudah mencapai lebih dari lima unit usaha. Adapun, 40% lainnya
memiliki sedikitnya satu unit usaha warnet, sedangkan sisanya tidak memiliki
usaha warnet. Semula pasar warnet berasal dari kalangan mahasiswa dan karyawan,
kini pengunjung warnet mayoritas adalah pelajar SMA ke bawah (Romi Yunianto dalam Bataviase.co.id;
9-28-2011). Indonesia kini berada diurutan ke lima pengguna internet di
seluruh dunia. China yang berada di peringkat pertama (338 juta pengguna
Internet), Jepang (94 juta), India (81 juta), Korea Selatan (37,5 juta).(Mamuju-ANTARA NEWS)
Banyaknya warnet yang ada disekitar
sekolah, kampus atau perumahan sangat membantu anak-anak, remaja atau
masyarakat yang ingin dengan mudah dan cepat mengakses informasi. Namun, jam
pulang sekolah yang cepat, fasilitas yang menggiurkan memberi kesempatan bagi
sebagian remaja atau anak sekolah memanfaatkan warnet untuk hal yang lain
(selain browsing, atau mengerjakan tugas sekolah) salah satu halnya berpacaran.
Beralih fungsinya warnet menjadi tempat untuk kegiatan amoral pelajar sangat
marak saat ini.
Berdasarkan observasi di warnet “U” di
daerah PB kota Surabaya, ada beberapa pengunjung yang tertangkap kamera cctv,
sedang melakukan perbuatan amoral. Pada alat pengendali jaringan sering
tertangkap adanya remaja yang sedang berpacaran di warnet mengakses situs
porno. Namun karena adanya alat pengendali jaringan (akses), maka secara
otomatis komputer yang digunakan akan mati dengan sendirinya. Pelakunya pun tak
kapok untuk mengulangi tindakan tersebut. Biasanya hal ini dilakukan sepulang
sekolah, atau pada malam hari. Kebanyakan pengunjung di warnet ini adalah
remeja berseragam (SMA, SMP), bahkan pada siang hari kebanyakan pengunjung
warnet ini adalah anak SD yang biasanya bermain game online. Bilik dan keadaan
yang mendukung, dapat memunculkan perilaku-perilaku amoral. Tidak sekedar
berciuman, perilaku sex pun dapat terjadi di dalam bilik warnet.
Berdasarkan
uraian diatas “Perilaku Pacaran Remaja di Warnet” menjadi tema yang menarik
untuk diteliti.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasar pada latar
belakang di atas, maka dapat disimpulkan sebagai rumusan masalah, yaitu “bagaimana
perilaku pacaran remaja di warnet?”.
TUJUAN
PENELITIAN
Ada pun tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami perilaku pacaran remaja di
warnet.
MANFAAT
PENELITIAN
Dari hasil
penelitian ini, diharapkan dapat mengetahui dan memahami perilaku pacaran
remaja di warnet.
TINJAUAN
PUSTAKA
Definisi Remaja
Pendefinisian
istilah remaja untuk masyarakat Indonesia sama sulitnya dengan menetapkan
definisi remaja secara umum. Masalahnya adalah Indonesia terdiri dari berbagai
macam suku, adat, dan tingkatan soaial ekonomi maupun pendidikan. Kita dapat
menjumpai masyarakat golongan atas yang sangat terdidik dan menyerupai
masyarakat di Negara-negara Barat. Kita juga dapat menjumpai masyarakat semacam
masyarakat di Samoa. Dengan perkataan lain, tidak ada profil remaja Indonesia
yang seragam dan berlaku secara nasional (Sarwono, 2008).
Menurut
psikolog, remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak-anak hingga
masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan
berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun (Wikipedia, Ensiklopedia
bebas;25-10-2011). Remaja juga berasal dari kata latin “Adolensence” yang
berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti
yang lebih luas lagi mencakup kematangan mental, emosional, social, dan fisik diungkapkan
oleh Piaget (1210) (Hurlock, 2004).
Menurut
Sri Rumini dan Siti Sundari (2004) masa remaja adalah peralihan dari masa anak
dengan dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki
masa dewasa.
Ciri-Ciri Perkembangan Remaja
Masa remaja bermula pada perubahan fisik yang cepat,
pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan
perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan
pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada perkembangan ini, pencapaian
kemandirian dan identitas sangat menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak,
dan idealistis) dan semakin banyak menghabiskan waktu diluar keluarga (Wikipedia,
Ensiklopedia bebas;25-10-2011). Masa
remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan
13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria.
Menurut Hurlock (2004) ada ciri-ciri perubahan tubuh
selama masa remaja. Perubahan eksternal yaitu tinggi, berat, proporsi tubuh,
organ seks, dan ciri-ciri seks skunder. Rata-rata anak perempuan mencapai
tinggi yang matang antara usia tujuh belas dan delapan belas tahun, dan
rata-rata anak laki-laki kira-kira setahun sesudahnya begitu juga dengan berat
badan. Berbagai anggota tubuh lambat laun mencapai perbandingan tubuh yang
baik, misalnya badan melebar dan memanjang, sehingga anggota badan tidak lagi kelihatan
terlalu panjang. Pada akhir masa remaja organ seks pria maupun wanita mencapai
ukuran yang matang tetapi fungsinya belum matang. Ada pula perubahan internal
pada sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem
endokrin, dan jaringan tubuh.
Adolescence (adolesensi, keremajaan, masa remaja)
dalam J.P Chaplin (2011) adalah periode antara pubertas dan kedewasaan. Usia
yang diperkirakan: 12 sampai 21 tahun untuk anak gadis, yang lebih cepat
menjadi matang daripada anak laki-laki, dan antara 13 hingga 22 tahun bagi anak
laki-laki.
Definisi Pacaran (Dating)/ Berkencan
Berpacaran
adalah bagian terpenting dalam perjalanan remaja untuk menemukan calon pasangan
hidupnya kelak menjadi suami-istri. Pacaran sebagai sarana mengenal pribadi individu
lawan jenis seks atau untuk mengekspresikan rasa sayang terhadap seseorang yang
special (Jawa Pos dotcom, dalam Pratidina; 2007).
Berpacaran menurut Wijayanto (dalam
Lidyana, 2004) adalah melakukan sebuah ikatan yang dibangun di atas komitmen
dan kepercayaan karena dipicu oleh rasa cinta dan sayang kepada pasangannya.
Berpacaran merupakan hubungan cinta dan bentuk interaksi yang lebih mendalam
dan lebih mengikat daripada hanya sekedar berkencan atau dating. Hubungan cinta
dalam berpacaran melibatkan suatu perjanjian baik secara implisit maupun
eksplisit antara dua orang bahwa mereka tidak akan berkencan dengan orang lain.
Berpacaran dipandang sebagai hubungan pranikah dan interaksi yang melibatkan
perasaan dan komitmen ke dua individu. Dalam berpacaran individu dapat memenuhi
kebutuhan intimacy (kerukunan) yang meliputi empati, saling mengerti, dan
menghargai antar pribadi, berbagi rasa (afeksi), saling percaya, dan kesetiaan
dalam rangka pemilihan pasangan hidup (Syafitri dalam Lidyana, 2004).
Menurut Santrock, 2002 berkencan
dapat merupakan suatu bentuk seleksi pasangan, rekreasi, sumber status dan
prestasi, serta suatu lingkungan untuk belajar tentang relasi yang akrab.
Kebanyakan remaja melakukan kegiatan ini. Remaja perempuan cenderung lebih tertarik
dalam penjajakan keintiman dan kepribadian daripada remaja laki-laki (Duck,
1975). Skenario berkencan laki-laki bersifat proaktif, perempuan bersifat
reaktif (McCormick & Jessor, 1993). Berkencan berbeda- beda menurut lintas
budaya (Xiaohe & Whyte, 1990).
Menurut Santrock, 2007 pacaran
merupakan fenomena yang cukup banyak di jumpai di zaman sekarang. Baru pada
tahun 1920-an, pacaran seperti kita kenal sekarang terbentuk dan fungsi
utamanya adalah untuk memilih dan mendapatkan seorang pasangan. Sebelum periode
ini, pacaran hanya bertujuan untuk menyeleksi pasangan, dan “pacaran” diawasi
dengan cermat oleh orang tua, yang sepenuhnya mengendalikan kebersamaan setiap
relasi heteroseksual. Para orang tua saling mengunggulkan remajanya sebagai
calon pasangan dan bahkan memilihhkan pasangan bagi anak-anaknya. Akhir-akhir
ini, remaja tentu sudah memiliki kendali yang jauh lebih besar terhadap proses
berpacaran dan dengn siapa mereka menjalin hubungan. Di samping itu, pacaran
telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar persiapan untuk
menikah. Di zaman sekarang, pacaran minimal memiliki delapan fungsi (Paul &
White, 1990) :
1. Pacaran
merupakan sebuah bentuk reaksi. Remaja yang berpacaran agaknya menikmatinya dan
menganggap pacaran sebagai sumber kesenangan dan reaksi.
2. Pacaran
dapat menjadi sumber yang memberikan status dan prestasi. Sebagai bagian dari
proses perbandingan sosial yang berlangsung di masa remaja, remaja dinilai
berdasarkan status orang yang diajak kencan, penampilannya, popularitasnya, dan
sebagainya.
3. Pacaran
merupakan bagian dari proses sosialisasi di remaja: pacaran dapat membantu
remaja untuk mempelajari bagaimana bergaul dengan orang lain serta mempelajari
tata-krama dan perilaku sosial.
4. Pacaran
melibatkan kegiatan mempelajari keakraban dan memberikan kesempatan untuk
menciptakan relasi yang bermakna dan unik dengan lawan jenis kelamin.
5. Pacaran
dapat menjadi konteks untuk melakukan eksperimen dan eksplorasi seksual.
6. Pacaran
dapat memberikan rasa persahabatan melalui interaksi dan aktivitas bersama
lawan jenis kelamin.
7. Pengalaman
pacaran berkontribusi bagi pembentukan dan pengembangan identitas; pacaran
membantu remaja untuk memperjelas identitas mereka dan memisahkannya dari
asal-usul keluarga.
8. Pacaran
dapat membarikan kesempatan kepada remaja untuk mensortir dan memilih pasangan.
Faktor-Faktor Perilaku Pacaran
1. Remaja
yang Mengurus Dirinya Sendiri (Latchkey Adolescents)
Meskipun
kondisi ibu yang bekerja tidak berdampak negatif bagi remaja, namun sebagian
remaja dari kelompok ini membutuhkan riset yang cermat – mereka disebut
Latchkey adolescent. Remaja kelompok ini biasanya tidak bertemu orang tuanya
ketika mereka berangkat sekolah di pagi hari hingga pukul 6.00 atau 7.00 malam.
Kebanyakan remaja ini tidak memperoleh pengawasan selama dua hingga empat jam
sehari selama hari sekolah. Selama libur sekolah, mereka mungkin tidak terawasi
sehari penuh, lima hari seminggu. Dalam sebuah studi terhadap 819 anak berusia
10 hingga 14 tahun yang tidak mendapat pengawasan orang tua, baik yang dipantau
maupun yang tidak dipantau, memperlihatkan kenakalan, penggunaan obat dan
alcohol, dan masalah disekolah (Coley, Morris, & Hernandez, 2004).
Pemantauan
orang tua dan pengasuhan orang tua yang bersifat otritatif dapat membantu
remeja untuk lebih mampu mengatasi pengalaman tersebut, khususnya untuk menolak
desakan dari kawan-kawan sebaya (Galambos & Maggs, 1991; Steinberg, 1986).
2. Gender
dan Budaya
Dunia
sosial dari kelompok kawan sebaya dan persahabatan di anatara remaja berkaitan
dengan gender dan budaya. Praremaja menggunakan waktu sekitar satu jam atau
kurang perminggu untuk berinteraksi dengan lawan jenis (Furman & Shaeffer,
2003). Meskipun demikian, di masa pubertas, jumlah waktu yang digunakan untuk
berinteraksi dengan lawan jenis cenderung meningkat lagi, sebagaimana yang
dikemukakan dalam pandangan perkembangan menurut Dunphy. Di kelas dua belas,
remaja laki-laki berinteraksi dengan lawan jenis selama lima jam per minggu,
sementara remaja perempuan berinteraksi dengan lawan jenis selama sepuluh jam
per minggu (Furman, 2002).
3. Konformitas
dengan Kawan Sebaya
Konformitas
(conformity) terjadi apabila individu mengadopsi sikap atau perilaku orang lain
karena merasa didesak oleh orang lain (baik desakan nyata atau bayangan saja).
Desakan untuk konform pada kawan-kawan sebaya cenderung sangat kuat selama masa
remaja.
Konformitas
terhadap desakan kawan-kawan sebaya dapat bersifat positif ataupun negative.
Remaja balasan tahun dapat terlibat dalam semua jenis perilaku konformitas yang
bersifat negatif (menggunakan bahasa gaul, mencuri, melakukan perusakan, serta
mempermainkan orang tua dan guru). Meskipun demikian, terdapat banyak bentuk
konformitas kawan-kawan sebaya yang tidak besifat negatif dan lebih merupakan
keinginan untuk tergabung dalam dunia yang sama dengan kawan-kawan, seperti
berpakaian seperti kawan-kawan dan ingin meluangkan waktu bersama para anggota
klik. Situasi semacam itu mungkin melibatkan aktivitas-aktivitas prososial,
seperti kelompok yang mengumpulkan dana untuk tujuan mulia.
(dalam
Pratidina; 2007) Perilaku pacaran remaja dapat mengarah pada perilaku bebas,
karena adanya dorongan untuk berperilaku seksual. Menurut Georgeon (dalam
Lidyana, 2004), adanya perilaku seksual dalam berpacaran merupakan hasil dari
dua faktor yaitu kondisi hormonal (internal stimulus) dan pengaruh dari luar
(eksternal stimulus). Keduanya tidak berdiri sendiri. Kesiapan hormonal belum
merupakan kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya perilaku seksual, meskipun
hal itu merupakan kondisi yang dibutuhkan.
Menurut
Atkinson dan Hilgard (Sarwono dalam Lidyana, 2004) menunjuk kepada faktor-faktor
:
a)
Lingkungan Fisik
Lingkungan
tempat tinggal turut menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Lingkungan
kota dengan kemajuan teknologi yang pesat dan sarana komunikasi yang memadai
akan memberi dampak yang berbeda terhadap perilaku seksual. Remaja kota dapat
dengan mudah menyaksikan tontonan yang merangsang baik melalui majalah,
kalender, bioskop atau melalui internet.
b) Lingkungan
Sosial
Lingkungan
social merupakan salah satu factor penting yang turut mempengaruhi perilaku
remaja dalam berpacaran. Lingkungan ini terkait dengan :
1) Lingkungan
Keluarga
Keluarga
adalah kelompok sosial yang pertama dikenal oleh anak, kelompok social pertama
dengan siapa anak mengidentifikasikan dirinya. Keluarga harus dapat menciptakan
hubungan yang menyenangkan, agar anak tidak mencari kasih sayang yang hilang
dengan bergaul bersama teman-teman yang dapat memungkinkan untuk melakukan
hubungan seks sebelum menikah.
2) Lingkungan
Tetangga
Pergaulan
remaja dengan teman-teman di lingkungan
tempat tinggal turut berperan dalam menentukan perilaku seksual seseorang.
Apabila remaja bergaul dengan teman-teman yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan
buruk seperti suka minum-minuman keras, berjudi, mengucap kata-kata kotor,
pergi ke tempat pelacuran,atau mempunyai kebiasaan mengintip maka ada
kemungkinan remaja terpengaruh oleh lingkungan tersebut. Hal ini disebabkan
karena pada usia remaja perkembangan emosi seseorang masih sangatlah lebil
sehingga mudah terbawa pergaulan oleh lingkungan.
3) Lingkungan
Sekolah
Waktu terbesar digunakan oleh
seseorang dalam kehidupan sehari-harinya selama di rumah, juga di sekolah.
Tentunya pergaulan dengan teman-teman di sekolah merupakan faktor penting yang
dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
c) Latar
Balakang Budaya
Sejak bayi
manusia sudah diperkenalkan dengan budaya tertentu sehingga disadari maupun
tidak budaya tersebut mempengaruhi kehidupan manusia. Perbedaan nudaya barat
dan timur juga mempengaruhi perilaku seksual seseorang dalam masyarakat.
Masyarakat dari budaya barat lebih terbuka terhadap masalah seksual, sedangkan
budaya timur masalah seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan secara
terbuka.
d) Kendali
Sosial
Kendali
sosial merupakan pola hukum dalam masyarakat yang berfungsi untuk mengontrol
perilaku anggota perilaku anggota masyarakat setempat yang melanggar
norma-norma. Dalam suatu masyarakat selain UU/hukum, berlaku pula kendali
sosial untuk mengontrol perilaku individu. Kendali sosial seringkali secara
efektif mampu mengamankan dan memelihara norma-norma sosial-budaya yang berlaku
pada masyarakat setempat.
Jenis
Pacaran
Relasi
Romantis Heteroseksual. Remaja yang tidak terlibat dalam relasi romantis
cenderung mengalami kecemasan sosial lebih tinggi dibandingkan remaja yang
terlibat dalam relasi pacaran atau relasi romantic (La Greca & Harrison,
2005). Dalam awal relasi romantic, banyak remaja belum termotivasi untuk
memenuhi kebutuhan kelekatan atau bahkan kebutuhan seksual. Relasi romantis
pada remaja hanya berfungsi untuk bereksplorasi mengenai seberapa menariknya
diri mereka, bagaimana beriteraksi secara romantis, dan bagaimana kesan
dirirnya bagi kelompok kawan sebaya. Setelah remaja memperoleh kompetensi dasar
dalam berinteraksi dengan pacarnya, maka pemenuhan kebutuhan kelekatan dan
kebutuhan seksual menjadi hal yang utama dalam relasi ini (Furman & Werner.
1998).
Cinta
romantis (romantic love) disebut juga passionate love atau eros, memiliki
komponen seksual dan hasrat yang kuat, dan sering kali menonjol di bagian awal
relasi cinta. Cinta romantic mencirikan sebagian besar cinta remaja. Cinta
romantis juga sangat penting bagi
mahasiswa. Dalam sebuah penyelidikan, para mahasiswa, yang belum menikah
diminta untuk menyebutkan relasi yang paling dekat bagi mereka (Berscheid,
Snyder, & Omoto, 1989). Lebih dari setengahnya menyatakan pacar alih-alih
orang tua, saudara kandung, atau kawan.
Cinta
afektif (affectionate love) disebut juga companionate love, atau cinta
kebersamaan, dimana individu menginginkan kehadiran satu sama lain yang
disertai dengan afeksi yang dalam dan kepedulian. Umumnya orang berkeyakinan
bahwa cinta afektif lebih banyak dijumpaipada cinta di antara orang dewasa dan
bukan cinta di antara remaja; di samping itu, tahap awal dari cinta lebih
banyak diwarnai oleh unsur romantic dibandingkan tahap selanjutnya (Berscheid
& Reis, 1998).
Alasan
Penerimaan dan Penolakan Perilaku Berpacaran Bebas
Alasan
yang dalam berperilaku berpacaran bebas dengan melakukan hubungan seks adalah
sebagai bukti cinta, sayang pengikat hubungan, serta berencana untuk menikah
dalam waktu dekat, agar menjadi milik sepenuhnya, ingin mencoba, takut
mengecewakan, takut diputus dan tidak sadar sepenuhnya. Namun demikian, sering
terjadi hubungan seksual pertama tidak selalu diawali dengan permintaan lisan
tetapi dengan stimulasi atau rangsang lansung terhadap pasangannya, sehingga
perempuan yang pada awalnya menolak, pada saat itu sudah terangsang sehingga
tidak mampu menolak lagi (dalam Pratidina; 2007).
Alasan
penolakan yang sering dikemukakan perempuan saat diminta untuk berperilaku
berpacaran bebas dengan melakukan hubungan seks lebih jauh oleh pacarnya adalah
takut hamil (dalam Pratidina; 2007).
Alasan
ini ternyata tidak cukup kuat untuk dijadikan alas an penolakan untuk hubungan
seksual, karena bisa dibantah mudah dengan rayuan bahwa jika hanya melakukan
sekali tidak akan hamil, pacarnya akan memakai kondom sehingga tidak mungkin
hamil, atau akan bertanggung jawab jika hamil. Sedangkan, alasan penolakan
lainnya yang ditemukan dan ternyata cukup efektif untuk membuat pacarnya tidak
memintanya lagi adalah tahut dosa. Apabila alas an tersebut dikemukakan,
biasanya pacarnya akan terdiam dam tidak berani menuntutnya lagi. Mungkin
karena merasa benar dan diingatkan untuk tidak melanggar norma (Lidyana, 2004).
Tempat
Terjadinya Perilaku Babas dalam Berpacaran
Beberapa
tempat yang bisa mendukung terjadinya perilaku berpacaran bebas pada remaja
(Lidyana, 2004) adalah :
a. Kamar
kost, terutama rumah kostnya dihuni baik laki-laki maupun perempuan dan ibu
kostnya tidak terlalu mempedulikan tentang pergaulan para penghuni kost (yang
penting kamar kostnya bisa disewa dan penuh).
b. Rumah
yang lagi sepia tau tidak ada orang tua, adik, kakak, atau pembantu.
c. Di
dalam mobil yang sedang parkir di tempat yang jauh dari keramaian.
d. Taman
yang sepi dan gelap gulita.
e. Bioskop.
f. Hotel,
motel, villa, baik didalam dan diluar kota.
METODE PENELITIAN
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif karena bertujuan untuk
memahami fenomena tentang “perilaku pacaran remaja di warnet”. Lokasi
penelitian dilakukan di daerah PB kota Surabaya dan tempat berlangsungnya
wawancara disesuaikan dengan permintaan subyek (daerah sekitar warnet yang
nyaman). Hal ini dilakukan supaya subyek merasa nyaman dan bebas dalam
berbicara sehingga bisa lebih terbuka dalam memberikan informasi. Penelitian
dilakukan terhadap 2 remaja yang sering berkunjung di warnet U di daerah PB. Pengambilan
data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara dan observasi.
Wawancara dilakukan dengan mengacu pada pedoman wawancara. Observasi yang
dilakukan meliputi observasi terhadap subjek selama wawancara berlangsung dan
lingkungan tempat berlangsungnya wawancara. Data penelitian kualitatif tidak
berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, deskripsi, cerita, dokumen
tertulis dan tidak tertulis (gambar, foto) ataupun bentuk-bentuk kualitatif
lainnya (Poerwandari dalam Gozali, 2006). Penelitian ini merupakan studi
deskriptif kualitatif, data yang diperoleh dari hasil wawancara akan dianalisis
secara kualitatif. Data yang terkumpul dianalisis secara kulitatif-interpretatif.
HASIL PENELITIAN
Setelah
melakukan wawancara dengan tiga subyek penelitian, menghasilkan data sebagai
berikut :
1. Deskripsi
Subyek Penelitian
Tabel 1
Deskripsi
Subyek
Identitas
|
Subyek
|
|
1
|
2
|
|
Usia
( Tahun )
|
19 tahun
|
17 tahun
|
Pendidikan
|
Mahasiswi
|
Pelajar
|
Jenis
kelamin
|
Perempuan
|
Perempuan
|
Subyek terdiri dari 2
(dua) orang perempuan. Subyek 1 adalah seorang mahasiswi berumur 19 tahun.
Subyek 2 adalah seorang pelajar berumur 17 tahun.
2. Rangkuman
Hasil Wawancara
Tabel 2
Rangkuman Hasil
Wawancara
Perilaku Berpacaran di Warnet
|
Subyek
|
|
1
|
2
|
|
Makna
pacaran
|
Saling berbagi, menjadi sahabat,
penyemangat, menjadi lebih dewasa untuk dapat menerima kekurangan orang
terkasih (pacar).
|
Untuk mendapatkan pengakuan dari
teman-teman, ada yang melindungi, ada tempat untuk curhat jika ada masalah,
dan jika memiliki pacar itu bisa bergaya.
|
Kebersamaan
dengan pacar (bergandengan, pelukan dll)
|
Pelukan di warnet sering.
|
Pernah pelukan di warnet, bersandar di
pundak saat capek.
|
Yang
buat lebih berani menyentuh pacar
|
Karena memiliki rasa kedekatan, dan
ada rasa memiliki.
|
Nyaman, dan juga saling suka dan
mencintai.
|
Frekuensi
pertemuan dengan pacar di warnet
|
Kadang, saat ingin mengerjakan tugas
atau hanya iseng karena tidak ada tempat yang asik untuk berpacaran.
|
Sering, sepulang sekolah, malam
minggu.
|
Kegiatan
dengan pacar saat di warnet
|
Main game online, seru-seruan, kadang
manja-manjaan karena bilik warnet yang sempit. Jarang mengerjakan tugas atau
mencari tugas di warnet.
|
Facebookan, Twitteran, Game online,
mengerjakan tugas, browsing-browsing gadget.
|
Kissing
|
Pernah, sangat mendebarkan karena
takut ketahuaan penjaga warnet, tapi kadang kepergok lalu berpura-pura
melakukan sesuatu.
|
Sering, setelah melihat film yang
romantis.
|
Necking
|
Jarang dilakukan di warnet.
|
Tidak pernah.
|
Petting
|
Pernah, karena biling mendukung. Tapi
juga cemas dan takut.
|
Pernah, tapi jarang sekali. Karena
kadang saya menolak ajakan cowok saya. Dan dia tak memaksa saya untuk mau
melakukannya. Di dalam bilik ada bantal, kadang saya tidak ada alasan untuk
menolak, karena bisa di tutup dengan bantal.
|
Oral
seks
|
Jarang, dilakukan di warnet.
Tergantung sikon.
|
Tidak pernah.
|
Sexual
Intercourse
|
Tidak pernah dilakukan di warnet.
|
Tidak pernah.
|
Yang
mengawali perilaku-perilaku tersebut
|
Awal yang mengajak ke warnet saya
untuk mengerjakan tugas sekolah (saat SMA). Lalu warnetnya mendukung untuk
melakukan hal-hal tersebut, maka pacar saya yang sering mengajak dengan niat lain.
Tapi saya tidak bisa menolak, karena takut kehilangan dia. Karena saya merasa
dia yang paling pas dan cocok dengan hati saya.
|
Cowok saya yang mengajak melakukan
kissing atau hal-hal lain di warnet, karena ia mengaku merasa nyaman. Padahal
awalnya saya mau Facebookan atau mengerjakan tugas.
|
Perbedaan
sebelum dan sesudah pacaran di warnet
|
Sedikit perbedaan, kalau di warnet
kalau sedang kehabisan topik untuk dibicarakan main game deh, dan bisa
seru-seruan. Kalo masalah hal-hal kissing itu tidak hanya di warnet.
|
Tidak ada perbedaan sama sekali.
|
Perbedaan
berpacaran di warnet dengan di tempat-tempat lain
|
Lebih menyenangkan di warnet. Selain
bisa browsing, main game, bisa belajar bareng nambah wawasan bareng. Pacaran
jadi lebih asyik, menyenangkan dan tidak membosankan.
|
Tidak ada perbedaan, karena saya lebih
senang berpacaran di mall atau tempat makan, atau di tempat yang romantis
berpemandangan indah.
|
Fungsi
warnet
|
Untuk browsing, bisa juga lihat blue
film lewat youtube. Baca Koran electronik online.
|
Untuk menambah wawasan, belajar/
mengerjakan tugas sekolah.
|
PEMBAHASAN
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa subyek 1 berumur 19 tahun seorang mahasiswi dan
subyek 2 berumur 17 tahun seorang pelajar. Fungsi warnet menurut mereka tak
jauh berbeda yaitu menambah wawasan, subyek 1 sebagai tempat untuk browsing dan
membaca koran elektronik online sedangkan subyek 2 tempat belajar/ mengerjakan
tugas sekolah. Tujuan mereka ke warnet awalnya ialah karena ingin mengerjakan
tugas namun karena kondisi warnet yang mendukung maka hal-hal negatif lain
muncul di warnet, seperti menonton film porno (pada subyek 1), kissing, berpelukan,
necking (pada subyek 1), petting, dan oral sex (pada subyek 1). Frekuensi
pertemuan mereka di warnet juga berbeda subyek 1 berpacaran di warnet saat
ingin mengerjakan tugas atau hanya iseng karena tidak ada tempat yang asik
untuk berpacaran, sedangkan subyek 2 setiap sepulang sekolah, dan malam minggu.
Makna pacaran bagi mereka juga berbeda, subyek 1 memaknai pacaran adalah saling
berbagi, menjadi sahabat, penyemangat, menjadi lebih dewasa untuk dapat
menerima kekurangan orang terkasih (pacar). Subyek 1 memaknai pacaran dengan
serius dan mengansumsikan hubungan yang terjalin saat ini adalah hubungan yang
serius, yang nantinya dibawa hingga pernikahan. Sedangkan makna pacaran bagi
subyek 2 ialah untuk mendapatkan pengakuan dari teman-teman, ada yang
melindungi, ada tempat untuk curhat jika ada masalah, dan jika memiliki pacar
itu bisa bergaya. Bagi Subyek 2 berpacaran hanya untuk status agar diterima dan
tidak diejek oleh teman-temannya, subyek 2 belum memikirkan hubungan tersebut
akan dibawa ke jenjang yang lebih serius. Perbedaan dalam memaknai suatu
hubungan tersebut juga mempengaruhi perilaku yang muncul saat berada di warnet,
subyek 1 lebih berani karena ia memiliki rasa kedekatan, dan ada rasa memiliki
pasangannya, sedangkan subyek 2 hanya karena ada perasaan nyaman, saling suka
dan mencintai. Mereka mengaku tindakan yang tak seharusnya mereka lakukan itu
karena ajakan pacar mereka masing-masing, subyek 1 merasa takut kehilangan jika
tidak mau melakukan apa yang diinginkan pacarnya, sedangkan subyek 2 hanya
karena pacarnya merasa nyaman melakukan hal-hal tersebut di warnet maka ia mau
melakukan hal-hal negatif tersebut walaupun terkadang menolaknya.
KESIMPULAN
Perilaku pacaran remaja di warnet
yang muncul ialah tak sebatas mencari ilmu pengetahuan dan menambah wawasan.
Faktor-faktor eksternal pun dapat mendorong seorang remaja melakukan hal-hal
negatif di warnet. Faktor-faktor ekternal tersebut ialah pacar, lokasi/ tempat
yang mendukung, dan adanya konformitas teman sebaya. Warnet yang awalnya
berfungsi untuk kegiatan positif menjadi tempat untuk kegiatan negatif.
DAFTAR PUSTAKA
·
Wikipedia, Ensiklopedia bebas; tanggal
akses 28 September 2011, 25 Oktober 2011.
·
Romi Yunianto dalam Bataviase.co.id;
tanggal akses 28 September 2011.
·
Mamuju-ANTARA NEWS; tanggal terbit
Senin, 6 September 2010.
·
Santrock, JW. 2002. Life-Span
Development (jilid 2). Ciracas, Jakarta: penerbit Erlangga.
·
Hurlock, EB. 2004. Psikologi Perkembangan
(Edisi 5). Ciracas, Jakarta: penerbit Erlangga.
·
Santrock, JW. 2007. Remaja (Edisi 11/
jilid 2). Ciracas, Jakarta: Penerbit Erlangga.
·
Pratidina, TY. 2007. SKRIPSI (Perilaku
Berpacaran Remaja Akhir Yang Mempunyai Pengalaman Melihat Aktivitas Hubungan Seksual).
Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Hang Tuah Surabaya.
·
Sarwono, SW. 2008. Psikologi Remaja.
Jakarta: penerbit Rajawali Pers.
·
Chaplin, JP. 2011. Kamus Lengkap
Psikologi. Jakarta: penerbit Rajawali Pers.
·
Indigenous. Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi
(vol. 11/ No. 2). Nopember 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar