Halaman

Senin, 09 April 2012

Role Theory

ROLE THEORY

           Teori Peran (Role Theory) adalah teori yang merupakan perpaduan berbagai teori, orientasi, maupun disiplin ilmu. Selain dari psikologi, teori peran berawal dari dan masih tetap digunakan dalam sosiologi dan antropologi.
            Dalam ketiga bidang ilmu tersebut, istilah “peran” diambil dari dunia teater. Dalam teater, seseorang aktor harus bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu ia diharapkan untuk berperilaku secara tertentu.
            Posisi aktor dalam teater (sandiwara) itu kemudian dianalogikan dengan posisi seseorang dalam masyarakat. Sebagaimana halnya dalam teater, posisi orang dalam masyarakat sama dengan posisi aktor dalam teater, yaitu bahwa perilaku yang diharapkan daripadanya tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berada dalam kaitan dengan adanya orang lain yang berhubungan dengan orang atau aktor tersebut. Dari sudut pandangan inilah disusun teori-teori peran.
            Sebetulnya cukup banyak teori peran dalam psikologi. Namun, karena keterbatasan tempat, pembicaraan akan dipusatkan pada teori Biddle & Thomas (1996) saja, dengan di sana-sini bilamana perlu akan disinggung pula teori-teori dari penulis-penulis lain secara sepintas.
            Dalam teorinya Biddle & Thomas membagi peristilahan dalam teori peran dalam empat golongan, yaitu istilah-istilah yang menyangkut :
a.       Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi social;
b.      Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut;
c.       Kedudukan orang-orang dalam perilaku;
d.      Kaitan antara orang dan perilaku.
Orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial dapat dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
a.       Aktor (actor, pelaku), yaitu orang yang sedang berperilaku menuruti suatu peran tertentu.
b.      Target (sasaran) atau orang lain (other), yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan aktor dan perilakunya.
Aktor maupun target bisa berupa individu-individu ataupun kumpulan individu (kelompok). Hubungan antar kelompok dengan kelompok misalnya terjadi antara sebuah paduan suara (aktor) dan pendengaran (target).
Istilah “aktor” kadang-kadang diganti dengan person, ego, atau self. Sedangkan “target” kadang-kadang diganti gengan istilah alter-ego, alter, atau non-self. Dengan demikian, jelaslah bahwa teori peran sebetulnya dapat diterapkan untuk menganalisis setiap hubungan antardua orang atau antarbanyak orang. Jadi, termasuk juga hubungan POX (dari Heider) dan hubungan ABX (dari New Comb).
Cooley (1902) dan Mead (1934) menyatakan bahwa hubungan aktor-target adalah untuk membentuk identitas aktor (person, self, ego) yang dalam hal ini dipengaruhi oleh penilaian atau sikap oaring-orang lain (target) yang telah digeneralisasikan oleh aktor.
Secord & Backman (1964) menyatakan bahwa aktor menempati posisi pusat (focal position), sedangkan target menempati posisi padanan dari posisi pusat tersebut (counter position). Dengan demikian, maka target berperan sebagai pasangan (partner) bagi aktor. Hal ini terlihat misalnya pada hubungan ibu-anak, suami-istri atau pemimpin-anak buah.
Menurut Biddle & Thomas ada lima istilah tentang perilaku dalam kaitannya dengan peran:
a.       Expectation (harapan);
b.      Norm (norma);
c.       Performance (wujud perilaku);
d.      Evaluation (penilaian) dan sanction (sanksi);

a.       Harapan tentang Peran
Harapan tentang peran adalah harapan-harapan orang lain (pada umumnya) tentang perilaku yang pantas, yang seyogianya ditunjukkan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu. Contoh, masyarakat umum, pasien-pasien, dan orang-orang sebagai individu mempunyai harapan tertentu tentang perilaku yang pantas dari seorang dokter.
Harapan tentang perilaku dokter ini bisa berlaku umum (misalnya, dokter harus menyembuhkan orang sakit) bisa merupakan harapan dari segolongan orang saja (misalnya, golongan orang yang kurang mampu mengharapkan agar dokter bersikap social) dan bisa juga merupakan harapan dari satu orang tertentu (misalnya, seorang pasien tertentu mengharapkan dokternya bisa juga member nasihat-nasihat tentang persoalan rumah tangganya selain menyembuhkan dari penyakit).

b.      Norma
Orang sering mengacaukan istilah “harapan” dengan “norma”. Namun, menurut Secord & Backman (1964) “norma” hanya merupakan salah satu bentuk “harapan”. Jenis-jenis harapan menurut Secord & Backman adalah sebagai berikut :
1)      Harapan yang bersifat meramalkan (anticipatory), yaitu harapan tentang suatu perilaku yang akan terjadi, misalnya: seorang istri menyatakan, “Aku kenal betul suamiku. Kalau kuberitahu bahwa aku telah membeli baju sehara Rp 60.000, ini, ia tentu akan marah sekali!” Oleh Mc David & Harari (1968) harapan jenis ini disebut predicted role expectation.
2)      Harapan normative (atau, menurut Mc David & Hariri: prescribed role-expectation) adalah keharusan yang menyertai suatu peran. Biddle & Thomas membagi lagi harapan normative ini ke dalam dua jenis :
a)      Harapan yang terselubung (covert): harapan itu tetap ada walaupun tidak diucapkan, misalnya dokter harus menyembuhkan pasien, guru harus mendidik murid-muridnya. Inilah yang disebut norma (norm).
b)      Harapan yang terbuka (overt): harapan yang diucapkan misalnya ayah meminta anaknya agar menjadi orang yang bertanggung jawab dan rajin belajar. Harapan jenis ini dinamai tuntutan peran (role demand). Tuntutan peran melalui proses internalisasi dapat menjadi norma bagi peran yang bersangkutan.

c.       Wujud Perilaku dalam Peran
Peran diwujudkan dalam perilaku oleh aktor. Berbeda dari norma, wujud perilaku ini nyata, bukan sekedar harapan. Dan berbeda pula dari norma, perilaku yang nyata ini bervariasi, berbeda-beda dari satu aktor ke aktor yang lain. Misalnya, peran ayah seperti yang diharapkan oleh norma adalah mendisiplinkan anaknya, sedangkan ayah yang lain hanya menasihati.
Variasi ini dalam teori peran dipandang normal dan tidak ada batasnya. Persis dalam teater, di mana tidak ada dua aktor yang bisa betul-betul identik dalam membawakan suatu peran  tertentu. Bahkan satu aktor bisa berbeda-beda cara membawakan suatu peran tertentu pada waktu yang berbeda. Oleh karena itu, teori peran tidak cenderung mengklasifikasikan istilah-istilahnya menurut perilaku khusus, melainkan berdasarkan klasifikasinya pada sifat asal dari perilaku dan tujuannya (atau motivasinya). Jadi, wujud perilaku peran dapat digolongkan misalnya ke dalam jenis hasil kerja, hasil sekolah, hasil olahraga, pendisiplinan anak, pencarian nafkah, pemeliharaan ketertiban dan sebagainya.
Jelaslah bahwa peran dilihat wujudnya dari tujuan dasarnya atau hasil akhirnya, terlepas dari cara mencapai tujuan atau hasil tersebut. Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya cara-cara tertentu dalam suatu peran yang mendapat sanksi dari masyarakat. Misalnya, seorang ayah yang berusaha mewujudkan peranya untuk mendisiplinkan anaknya dengan cara menggantung kaki anaknya sehingga kepalanya terbalik ke bawah, akan mendapat celaan dari masyarakat sehingga cara seperti ini akan dihindari oleh ayah-ayah pada umumnya.
Cara itu menjadi masalah yang penting jika cara itu bertentangan dengan aspek lain dari peran. Cara menggantung anak pada kakinya. Walaupun mungkin sesuai dengan perannya untuk mendisiplinkan anak, tetapi hal itu bertentangan dengan perannya untuk member kasih sayang kepada anak. Dengan demikian, seorang aktor bebas untuk menentukan cara-caranya sendiri selama tidak bertentangan dengan setiap aspek dari peran yang diharapkan darinya.
Sarbin menyatakan bahwa perwujudan peran (dalam istilah Sarbin: role enactment) dapat dibagi-bagi dalam tujuh golongan menurut intensitasnya. Intensitas ini diukur berdasarkan keterlibatan diri (self) aktor dalam perang yang dibawakannya. Tingkat intensitas yang rendah adalah keadaan di mana diri aktor sangat tidak terlibat. Perilaku peran dibawakan secara otomatis dan mekanistis saja. Sedangkan tingkat yang tertinggi akan terjadi jika aktor melibatkan seluruh pribadinya dalam perilaku peran yang sedang dikerjakan. Kita ambil caontoh misalnya pemain musik yang setiap malam bertugas menghibur tamu di restoran. Karena sudah terbiasa dengan pekerjaannya, pemusik itu memainkan alat musiknya sambil mengobrol dengan temannya atau sambil melamun. Perwujudan peran pemusik ini adalah pada tingkat intensitasnya yang terendah. Di pihak lain, seorang pemain piano tunggal memainkan sebuah nomor lagu dalam sebuah konser dengan segenap perasaanya dan kosentrasinya. Kepala terangguk-angguk, badannya bergoyang-goyang mengikuti irama lagu. Maka, pemain piano ini mewujudkan perannya dengan intensitas yang tinggi.
Goffman meninjau perwujudan peran ini dari sudut yang lain. Ia memperkenalkan istilah permukaan (front), yaitu untuk menunjukkan perilaku-perilaku tertentu yang diekspresikan secara khusus agar orang lain mengetahuinya dengan jelas peran si pelaku (aktor). Misalnya, seorang professor meletakkan rak penuh buku-buku ilmiah di ruang tamunya. Dengan begitu, tamu-tamunya akan mendapatkan kesan tentang apa dan bagaimana peran seorang professor itu. Inilah yang disebut permukaan. Di samping itu, tentu ada perilaku-perilaku lain yang tidak mau ditunjukkan ke permukaan, walaupun tetap saja dilakukan, karena dianggap tidak sesuai dengan peran yang hendak diwujudkan. Dalam contoh professor tersebut, mungkin professor tersebut mempunyai buku-buku komik yang disukainya, tetapi disimpannya di lemari kamar tidurnya agar tidak dilihat oleh tamu-tamunya.


DAFTAR PUSTAKA

·         Sarwono, SW. 2011.Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers
·         Soekanto, S. 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar